Jumat, 24 November 2017

Good Corporate Governance

A. Pengertian Good Corporate Governance
Istilah Good Corporate Governance (GCG) atau Corporate Governance (CG) pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Committee tahun 1992 dalam laporannya yang dikenal sebagai Cadbury Report. Ada banyak pengertian tentang CG seperti di bawah ini:
1. Corporate Governance adalah seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. (Forum for Corporate Governance in Indonesia / FCGI)
2. Corporate Governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh suatu organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai Pemegang Saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika (Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep-117/M-MBU/2002).
Berdasarkan pengertian di atas maka bisa dipahami tujuan yang hendak dicapai dengan penerapan Good Corporate Governance yaitu untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan. Dalam jangka panjang hal ini akan membawa pada keberlangsungan usaha dan peningkatan profit secara signifikan.
B. Manfaat Good Corporate Governance
1. Memudahkan akses terhadap investasi domestik maupun asing.
2. Mendapatkan cost of capital yang lebih murah dengan penerapan Good Corporate Governance.
3. Memberikan dasar keputusan yang lebih baik untuk meningkatkan kinerja ekonomi perusahaan.
4. Meningkatkan keyakinan dan kepercayaan dari shareholder dan stakeholder terhadap perusahaan.
5. Mempengaruhi harga saham secara positif.
6. Melindungi Direksi/Komisaris/Dewan Pengawas dari tuntutan hukum dan melindungi dari intervensi politis serta usaha-usaha campur tangan di luar mekanisme korporasi.

C. Prinsip-Prinsip Corporate Governance
Prinsip-prinsip utama yang perlu diperhatikan untuk terselenggaranya corporate governance yang baik adalah :
1. Transparansi
Pada organisasi yang menerapkan Corporate Governance, transparansi atau keterbukaan menjadi hal yang wajib untuk diterapkan. Mulai dari keterbukaan akan proses produksi, laporan keuangan sepanjang keterbukaan tersebut tidak menyangkut rahasia organisasi.
2. Akuntabilitas
Akuntabilitas berhubungan dengan sistem yang mengendalikan hubungan antara unit-unit yang ada di organisasi. Akuntabilitas dilakukan oleh dewan komisaris dan direksi, dan komite audit. Prinsip ini diharapkan dapat memberikan jaminan perlindungan kepada pemegang saham dan pembatasan kekuasaan yang jelas di jajaran direksi.
3. Pertanggungjawaban
Prinsip ini diartikan sebagai tanggung jawab perusahaan sebagai anggota masyarakat untuk mematuhi peraturan dan hukum yang berlaku serta kewajiban-kewajiban sosial di tengah masyarakat.
4. Kewajaran (fairness)
Prinsip kewajaran menekankan pada adanya perlakuan dan jaminan hak-hak yang sama kepada pemegang saham minoritas maupun mayoritas, termasuk hak-hak pemegang saham asing serta investor lainnya. Prinsip kewajaran ini bertujuan untuk mengatasi masalah yang timbul dari adanya hubungan kontrak antara pemilik dan manajer karena diantara kedua pihak tersebut memiliki kepentingan yang berbeda
D. Mekanisme Corporate Governance
Mekanisme corporate governance merupakan suatu aturan main, prosedur dan hubungan yang jelas antara pihak yang mengambil keputusan dengan pihak yang melakukan kontrol/pengawasan terhadap keputusan tersebut.
1. Mekanisme pengendalian internal adalah pengendalian perusahaan yang dilakukan dengan membuat aturan yang mengatur tentang mekanisme bagi hasil, baik yang berupa keuntungan, return maupun risikorisiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen.
2. Mekanisme pengendalian eksternal adalah pengendalian perusahaan yang dilakukan oleh pasar. Menurut teori pasar jika manajemen berperilaku hanya menguntungkan diri sendiri, maka kinerja perusahaan akan menurun dalam bentuk turunnya nilai saham perusahaan.

Teori keagenan
Teori agensi didasarkan pada masalah yang berkaitan dengan pemisahan kepemilikan dan pengendalian. Jensen dan Meckling mendefinisikan masalah agensi sebagai masalah yang muncul ketika satu pihak (Principals) membuat kontrak dengan pihak lain (Agen) yang bertujuan membuat keputusan menjadi setengah dari prinsipal. Jensen dan Meckling selanjutnya berpendapat bahwa ketika kepentingan manajemen rendah, ada kemungkinan besar manajemen melibatkan dirinya dalam aktivitas penurunan nilai. Masalah keagenan terjadi karena agen cenderung menyembunyikan informasi dari principal dan melakukan tindakan untuk mencapai kepentingan mereka sendiri (Enron, WorldCom, Marconi dan Royal Ahold).  Masalah keagenan juga muncul saat CEO menetapkan beberapa tujuan yang bertentangan dengan pemegang saham tersebut. CEO kemungkinan akan menerapkan strategi yang memaksimalkan kepentingan pribadinya dengan mengorBUMNan pemegang saham sementara pada risiko sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali bagi CEO.
Hubungan keagenan mengacu pada banyak hubungan yang terlibat dalam pendelegasian pengambilan keputusan dari satu pihak (Principal) ke pihak lain (Agen). Delegasi dan berbagai risiko menimbulkan bahaya moral bagi para eksekutif. Bahaya moral kepada eksekutif memberi kesempatan untuk mencari kompensasi tambahan melalui cara oportunistik seperti perquisites, shirking dan free-riding dan pada saat yang sama para pelaku didorong untuk meningkatkan biaya pemantauan dan insentif mereka.
Biaya agensi sebagai hilangnya nilai perusahaan yang tak terelakkan yang timbul dengan masalah keagenan bersamaan dengan biaya pemantauan dan pengikatan kontraktual. Watts dan Zimmerman mengembangkan teori Akuntansi Positif yang berfokus pada hubungan antara berbagai individu yang terlibat dalam menyediakan sumber daya bagi sebuah organisasi. Ini bisa menjadi hubungan antara pemilik (sebagai pemasok modal ekuitas) dan manajer (sebagai pemasok tenaga kerja manajerial). PAT berasumsi bahwa kepentingan pribadi didorong oleh tindakan individu. Atau dengan kata lain, kepala sekolah dan agen sangat waspada dalam memaksimalkan kekayaan mereka sendiri. Diasumsikan bahwa teori agensi percaya bahwa agen (manajemen) tidak selalu cenderung bertindak demi kepentingan terbaik pemilik (prinsipal). Asumsi semacam itu mengharuskan para prin- cipals untuk mempertimbangkan insentif atau skema bonus yang sesuai untuk agen tersebut dan pada saat yang sama mengatur mekanisme pemantau yang tepat sehingga setiap aktivitas yang tidak biasa dapat dikontrol.
Agen berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah diamanahkan oleh prinsipal kepadanya. Manajemen sebagai ‘agents” dianggap akan bertindak untuk kepentingannya sendiri, bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap Pemegang Saham. Adanya pemisahan kepemilikan dan perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen menimbulkan agency problem (konflik kepentingan).  Sebagai pihak yang mengelola perusahaan, agen mempunyai lebih banyak informasi mengenai kapasitas perusahaan, lingkungan kerja dan perusahaan secara keseluruhan. Disisi lain prisipal tidak mempunyai informasi cukup tentang kinerja agen. Hal ini mengakibatkan ketimpangan informasi antara prinsipal dan agen yang disebut dengan aymmetric information. Hal tersebut dapat menimbulkan dua permasalahan (Jensen dan Meckling, 1976)
·  Moral Hazard yaitu permasalahan yang terjadi jika agen tidak melaksanakan bersama apa yang telah disepakati dalam kontrak kerja.
·   Adverse selection yaitu prinsipal tidak dapat mengetahui apakah keputusan yang diambil oleh agen didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya atau terjadi kelalaian dalam tugas.
 Adanya agency problem di atas, menimbulkan biaya keagenan (agency cost), yang menurut Jensen dan Meckling (1976) terdiri dari :
(a)   The monitoring expenditures by the priciple
Biaya monitoring dikeluarkan oleh prinsipal untuk memonitor prilaku agen, termasuk juga usaha untuk mengendalikan (control) perilaku agen melalui budget restriction, compensation policies.
(b)   The bonding expeditures by the agent
The bonding cost dikeluarkan oleh agen untuk menjamin bahwa agen tidak akan menggunakan tindakan tertentu yang akan merugikan prinsipal atau untuk menjamin bahwa prinsipal akan diberi kompensasi jika ia tidak mengambil banyak tindakan.
(c)   The residual loss
Merupakan penurunan tingkat kesjahteraan prinsipal maupun agen setelah adanya agency relationship.

Stewardship Theory
Tidak seperti teori keagenan, teori stewardship mengasumsikan bahwa manajer adalah pengelola dengan perilaku yang selaras dengan tujuan principal mereka. Teori ini mendasarkan pada adanya toleransi yang baik dalam diri seorang manajer. Manajer dipandang setia kepada perusahaan dan tertarik dalam pencapaian kinerja yang tinggi. Motif dominan, yang mengarahkan para manajer untuk menyelesaikan pekerjaan mereka, adalah keinginan mereka untuk melakukan tugas dengan sangat baik. Secara khusus, manajer dipahami sebagai pihak yang termotivasi oleh kebutuhan untuk mencapai kepuasan intrinsik melalui keberhasilan dalam melakukan pekerjaan yang menantang, untuk melaksanakan tanggung jawab dan wewenang dan dengan demikian untuk mendapatkan pengakuan dari pimpinan dan pihak lainnya terhadap keberhasilannya. Oleh karena itu ada unsur motivator yang bersifat non keuangan bagi manajer. Teori ini juga berpendapat bahwa sebuah organisasi membutuhkan struktur yang memungkinkan harmonisasi yang akan dicapai dari hubungan yang efektif antara manajer dan pemilik. Dengan kata lain, Stewardship theory memandang manajemen sebagai pihak yang dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik maupun stakeholder.

Stakeholders Theory
Stake holder Theory atau Teori Pemangku Kepentingan memposisikan Pemeganag Saham/Pemilik Modal hanya merupakan salah satu dari sejumlah kelompok stakeholder yang penting. Sama seperti pelanggan, pemasok, karyawan dan masyarakat lokat. Pemegang saham memiliki saham di dan dipengaruhi oleh keberhasilan atau kegagalan perusahaan.
Gibson 2000:247 menguraikan dalam jurnalnya bahwa dengan cara yang sama bahwa bisnis juga memiliki tugas yang berbeda untuk berbagai kelompok pemangku kepentimgan. Dalam kasus dimana ada konflik kepentingan antara Pemilik Modal/Pemegang saham dengan stakeholder lainnya, maka kepentingan para Pemilik Modal/Pemegang Saham, harus dimoderasi atau dikorBUMNan untuk memenuhi kewajiban dasar bagi pemangku kepentingan lainnya. Dalam hukum perusahaan, Pemilik Modal/Pemegang saham diberi status unggulan sebagai pemilik perusahaan. Mereka mampu memilih semua atau sebagian besar anggota Direksi, memiliki hak untuk mempekerjakan dan memecat para eksekutif senior dan menyetujui atau menolak kebijakan penting dan strategi perusahaan. Karena status yang luar biasa dan kendali yang dimiliki oleh Pemilik Modal/Pemegang Saham berdasarkan hukum perusahaan, teori pemangku kepentingan cenderung mencurahkan perhatian yang lebih sedikit untuk membela hak-hak Pemilik Modal/Pemegang Saham.Asumsinya adalah bahwa Pemilik Modal/Pemegang Saham sudah memiliki kekuatan untuk memastikan bahwa kepentingan mereka diperhitungkan oleh perusahaan dan para manajernya. Teori stakeholder yang telah mempertimbangkan hak-hak Pemilik Modal/Pemegang Saham biasanya mencoba untuk menunjukkan mengapa hak-hak ini harus dibatasi oleh hak atau kepentingan kelompok stakeholder lainnya. Dari ketiga uraian konsep yang mendasari Good Corporate Governance terlihat bahwa kesamaannya terletak pada pengamatan pola hubungan atau interaksi antara pemilik modal/pemegang saham/Dewas/Bawas/Dekom dengan Direksi dalam pemenuhan kepentingan masing masing pihak. Efektivitas interakti tersebut menciptakan sinergitas hubungan yang memengaruhi laju pertumbuhan nilai perusahaan secara positif dengan mempertimbangkan kepentingan stakeholdes lainnya.

Teori institusional (Institutional Theory) atau teori kelembagaan 
Core idea-nya adalah terbentuknya organisasi oleh karena tekanan lingkungan institusional yang menyebabkan terjadinya institusionalisasi. Zukler (1987) dalam Donaldson (1995), menyatakan bahwa ide atau gagasan pada lingkungan institusional yang membentuk bahasa dan simbol yang menjelaskan keberadaan organisasi dan diterima (taken for granted) sebagai norma-norma dalam konsep organisasi. Eksistensi organisasi terjadi pada cakupan organisasional yang luas dimana setiap organisasi saling mempengaruhi bentuk organisasi lainnya lewat proses adopsi atau institusionalisasi (pelembagaan).
Di Maggio dan Powell (1983) dalam Donaldson (1995), menyebutnya sebagai proses imitasi atau adopsimimetic sebuah organisasi terhadap elemen organisasi lainnya. Organisasi terbentuk oleh lingkungan institusional yang ada di sekitar mereka. Ide-ide yang berpengaruh kemudian di institusionalkan dan dianggap sah dan diterima sebagai cara berpikir ala organisasi tersebut. Proses legitimasi sering dilakukan oleh organisasi melalui tekanan negara-negara dan pernyataan-pernyataan. Teori institusional dikenal karena penegasannya atas organisasi hanya sebagai simbol dan ritual.
Perspektif yang lain bahwa organisasi berada dibawah tekanan berbagai kekuatan sosial guna melengkapi dan menyelaraskan sebuah struktur, organisasi harus melakukan kompromi dan memelihara struktur operasional secara terpisah, karena struktur organisasi tidak ditentukan oleh situasi lingkungan tugas, tetapi lebih dipengaruhi oleh situasi masyarakat secara umum dimana bentuk sebuah organisasi ditentukan oleh legitimasi, efektifitas dan rasionalitas pada masyarakat. Kekhususan teori institusional terletak pada paradigma norma-norma dan legitimasi, cara berpikir dan semua fenomena sosiokultural yang konsisten dengan instrumen tehnis pada organisasi. Organisasi terbentuk karena kekuatan di luar organisasi yang membentuk lewat proses mimicry atau imitasi dan compliance. Organisasi berada di bawah tekanan untuk menciptakan bentuk-bentuk sosial yang hanya terbentuk oleh pendekatan konformitas dan berisi struktur-struktur terpisah pada aras operasional.

Ada tiga bentukan institusional yang bersifat isomorphis yaitu, pertama; coersif isomorphis yang menunjukkan bahwa organisasi mengambil beberapa bentuk atau melakukan adopsi terhadap organisasi lain karena tekanan-tekanan negara dan organisasi lain atau masyarakat yang lebih luas. Kedua; mimesis isomorphis, yaitu imitasi sebuah organisasi oleh organisasi yang lain. Ketiga, normatif isomorphis, karena adanya tuntutan profesional.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar